Rabu, 25 April 2018

kebudayaan Sumba Timur

Suku Sumba berada di Pulau Sumba yang menduduki wilayah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur. Berdasarkan cerita yang sudah turun temurun,  Sumba lahir dari empat pendaratan para leluhur. Menurut Wohangara dan Ratoebandjoe dalam Woha (2008:40) menyatakan bahwa pendaratan para leluhur itu diatur strategi, seakan-akan mau melakukan pengepungan terhadap tana Humba .

Di Sumba Barat dan Sumba Timur , mengalami perbedaan keyakinan terhadap adat akibat dari pengaruh moderenisasi. Namun, di Kabupaten Sumba Timur terjadi pergeseran  terutama kaum mudanya. Beberapa dari mereka sudah  mulai terpengaruh dari segi berpakaian dan mereka mulai lupa pada bahasa ibunya sendiri. Pada hal bahasa ibu merupakan salah satu ciri budaya suatu daerah. Ini mejadi keprihatinan pemerintah Sumba terhadap kepercayaan adat mereka. Terlepas dari itu adat budaya suku Sumba masih terjaga sampai hari ini.

Kepercayaan mereka adalah kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba asli. Mereka menganut paham Dinamisme. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba.

Asal Usul Suku Sumba

Suku Sumba berada di Pulau Sumba yang menduduki wilayah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur. Berdasarkan cerita yang turun temurun, konon Sumbu lahir dari empat pendaratan para leluhur. Menurut Wohangara dan Ratoebandjoe dalam Woha (2008:40) menyatakan bahwa pendaratan para leluhur tu diatur strategi seakan-akan mau melakukan pengepungan terhadap tanah Humba sebagai berikut:

1.      Rombongan I mendarat di Haharu Malai Kataka Linndi Watu

2.      Rombongan II mendarat di La Panda Wai Mananga Bokulu.

3.      Rombongan III mendarat di Wula Waijilu-Hongga Hillimata.

4.      Rombongan IV mendarat di Mbajiku Padua Kambata Kundurawa.

Di Sumba Barat dan Sumba Timur ini mengalami perbedaan keyakinan terhadap adat akibat dari pengaruh moderenisasi. Suku Sumba cukup dikenal sebagai suku yang masih menjaga kuat adat. Namun, di Kabupaten Sumba Timur terjadi pergeseran  terutama kaum mudanya. Beberapa dari mereka sudah mulai terpengaruh dari segi berpakaian dan tidak hanya itu, yang lebih parahnya lagi adalah mereka mulai lupa pada bahasa ibunya sendiri. Ini mejadi keprihatinan pemerintah Sumba terhadap kepercayaan adat mereka. Terlepas dari itu adat budaya suku Sumba masih terjaga sampai hari ini.

Kepercayaan mereka adalah kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba ash. Mereka menganut paham Dinamisme. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.

Di Sumba stratifikasi sosial masih diterapkan. Strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Sehingga pakaian pada rakyat Sumba itu mejadi penting karena akan menentukan berada di strata sosial mana ia. Hal ini ditunjukkan oleh kain yang berlembar-lembar menumpuk badan mereka.

Busana pada pria misalnya. Busana pria Sumba terdiri atas bagian-bagian penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan senjata tajam. Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau kadang-kadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan, samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu.

Pada wanita pun sama, kain diberi nama sesuai dengan teknik tenunnya dengan warna yang berwarna-warni. Seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung. Juga perhiasan dan hiasan di kepala mereka. Masyarakat suku Sumba menganut pola kekerabatan yang patrilineal. Pola kekerabatan dimana ayah atau kakek mereka yang akan menjadi identitas orang-orang suku Sumba.


 Adat & Seni Budaya

Adat adalah suatu peraturan yang tidak boleh di langgar oleh suatu masyarakat yang notabene merupakan undang-undang yang tidak tertulis namun mengikat. Dalam segala bentuk kesenian tradisional Sumba akan kita dapati atau kita rasakan nafas kehidupan adat setempat, baik kehidupan adat yang pernah ada di masa lampau, maupun adat yang masih dihayati masyarakat masa kini.

Adat-adat yang dianut oleh suku Sumba:

a.    Dalam seni kriyakain tenun Sumba (Timur) sangat disukai pola klasik dengan ornamen yang bermotifkan pohon adung. Motif pohon adung menggambarkan adanya adat mengayau kepala manusia pada masa lampau.

b.    Dalam seni tari ada jenis tarian perang yang selalu disertai adegan mengayau, memenggal kepala  musuh seperti apa yang dilakukan pada masa lampau.

c.    Dalam seni sastra juga ada saja-sajak (lirik) untuk lagu-lagu pengayauan.

d.    Dalam seni rupa kita memperoleh gambaran adat kematian, penguburan yang wajib disertai kurban kerbau, seperti yang dipahatkan pada nisan dan batu kubur.

Hasil gambar untuk kebudayaan sumba timur

  Gambar 2.1 Tarian adat suku sumba

 

Pakaian adat

Di Sumba stratifikasi sosial masih diterapkan. Strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam masa laku. Pakaian rakyat Sumba itu mejadi penting karena akan menentukan berada di strata sosial mana ia. Hal ini ditunjukkan oleh kain yang berlembar-lembar menumpuk badan mereka. Busana pria Sumba terdiri atas bagian-bagian penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya, berupa perhiasan dan senjata tajam. Pada wanita pun sama, kain diberi nama sesuai dengan teknik tenunnya dengan warna    yang berwarna-warni. Seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar